DERLY PANGKEY

Minggu, 21 April 2013

Cerpen Friend for Ever

Namanya Hasian, perawakannya besar, sebesar gelegar suaranya.  Aku lupa pertama kali bersama dengan dia kapan, entah itu di gereja atau di bangku kuliah. . . .  aku ga inget.

Namun hal yang kuingat adalah banyak orang-orang Batak yang pindah ke kampusku, sekelas denganku dua orang perempuan dan beberapa laki-lakiAku ga peduli dengan kedatangan mereka, aku sibuk dengan urusanku sendiri, karena aku harus kuliah dan kerja di perpustakaan kampus pada jam-jam lowongku jika aku tak ada kelas.

Satu kali kakakku berteman dekat dengan salah satu pendatang daru Medan, karena latar belakang kami yang dibesarkan di tanah priyangan yang lemah gemulai bila bertutur kata, aku dan adik-adikku sering mentertawakan kakakku jika dia ngobrol dengan temannya, yang suaranya sangat menggelegar itu.

Di kamusku sudah kututup pintu hatiku untuk berpacaran dengan orang Batak aku tidak benci sama mereka, tapi mendengar nada bicaranya aja, engga lah, ga minat aku.  Satu kali sepulangnya dari kampus, Hasian orang batak teman sekelasku sudah ada disampingku menemani aku pulang sambil berjalan kaki.  Kami ngobrol ke sana ke mari, sampai akhirnya janjian untuk buat PR bareng.

Reaksiku sebenarnya biasa-biasa aja sih. kalau untuk berteman biasa sih ok, ok aja, tapi setelah kuamati sifatnya, ada yang kukagumi dari Hasian ini.

Satu kali sepulang kami dari kuliah, Hasian mampir ke rumahku untuk membuat tugas bersama. pas sampai di dalam rumah, terjadi musibah di rumahku. pembuangan air di kamar mandi mampet, sehingga air meluber ke mana-mana sampai ke kamar tamu.  tanpa banyak bicara, aku mengambil ember dan kain pel untuk membersihkan genangan air.

Melihat kesibukanku, dia tidak tinggal diam, tanpa sungkan dia mencari sapu lidi, menggulung lengan baju dan celana panjangnya dan bilang padaku:  "Yie, kamu tunggu di luar aja, biar aku yang bersihin." aku hanya menurut perkataannya dan nonton dia bekerja dengan cekatan membersihkan kekacauan yang terjadi.
Kenangan itu sampai saat ini aku ingat, kesetiakawanannya membuat hatiku kagum padanya.

Satu kali Hasian mengajakku jalan-jalan ke Lembang. Sore itu cuaca agak mendung, dengan kepolosannya, Hasian membawa payung besarnya, untuk jaga-jaga kalau sampai hujan nanti, dengan gaya bawa payungnya itu, aku tertawa dalam hati. Adik-adikku cekikikan mentertawakan aku yang mau berjalan dengan orang yang mati gaya.    Bodo amatlah. . . . pikirku.

Sampai di Lembang kami duduk berdua, memesan makanan. makanan datang dengan nasi yang disuguhkan dalam boboko kecil tempat nasi khas priyangan. Kami langsung menyantap hidangannya sambil ngobrol ke sana ke mari menceritakan latar belakang masing-masing.  Mahluk lugu ini rupanya berasal dari Siborong-borong Sumatera Utara. Sesekali aku tersenyum sendiri mendengar ceritanya dengan dialek Bataknya yang sangat kental.

Beberapa kalimat yang umum diajarkannya dalam bahasa Batak. Selesai makan, aku mengambil pisang muli (pisang kecil-kecil) untuk cuci mulut. Hasian memeriksa semua pesanan yang di meja. melihat nasi yang di dalam boboko masih tersisa, tanpa malu, dia langsung mengosongkan isinya. dengan berbisik aku berkata padanya.  "Sisakan sedikit, karena budaya di sini tidak biasa melihat tempat nasi yang kosong melompong."  Dengan gaya medannya dia berkata: "Sudah kubayar mahal-mahal, sayang kalau tidak dihabiskan."  semua hidangan ludes tak bersisa, termasuk pisang yang tergandung di dekat meja kami.  Waduh, ciut hatiku waktu meninggalkan tempat itu.

Selama ini aku belum punya teman orang Siborong-borong langsung. setiap mendengar suaranya yang menggelegar, aku menahan tawa. kadang-kadang aku mengajari adikku bahasa batak yang aku pelajari dari Hasian, kami saling berpandangan lalu saling mengangkat alis dan tawapun meledak bersama adikku, waktu ayahku mendengar kami berbahasa batak praktis, dengan heran ayahku menegor, "Belajar itu bahasa Inggris, bukan bahasa Batak."  Dengan mesem-mesem aku ngeloyor meninggalkan ayahku.

Sepulang kuliah, aku berjalan pulang ke rumah dengan adikku. Dekat persimpangan ke rumahku, tiba-tiba aku mendengar teriakan Hasian dari jarak yang cukup jauh kira-kira 100 meteran. Semua mata melihat ke arah kami. Akhirnya kulambaikan tanganku ke arahnya lalu cepat-cepat belok ke simpang jalan rumahku sambil terpingkal-pingkal dengan adikku.  Dasar polos, dia pikir Bandung sama dengan Siborong-borong kali ya. . . . 

Hari ini hari Senin, rutinitas kampus dimulai kembali. aku duduk manis di bangku kelasku, kulirik tempat duduk Hasian. . . .  dia sedang asik membalik-balik buku pelajaran, entah mengapa hatiku senang melihat kehadirannya, walaupun aku tidak duduk bersebelahan dengan dia.  Tak terasa 2 jam sudah berlalu, aku keluar dari kelasku, langsung menuju rumahku. Hari ini aku malas bekerja di perpustakaan, aku mau istirahat saja di rumah.

Dekat lapangan sepak bola kampus, tiba-tiba Hasian sudah berada disamping menyamakan langkah kakiku, aku hanya melirik dia dan meneruskan perjalanku
"Temenin aku ke Bandung ya." sapanya.
"Males" jawabku
"Harus." katanya memaksaku
aku hanya melirik tanda ga setuju, karena aku ingin tidur di rumah saat ini.  sampai di persimpangan rumahku, tanganku di tarik Hasian.
"ga boleh pulang, anter aku ke Bandung dulu." katanya
Dengan pasrah, akhirnya kuikuti keinginannya. Aku diajak ke rumahnya dulu untuk mengambil mobilnya.
  
Sepanjang perjalanan sambil nyetir dia cerita tentang latar belakangnya aku pura-pura tertidur  walaupun telingaku ku pasang lebar-lebar mendengar ceritanya. Tiba-tiba Hasian tertawa kegelian, aku membuka mataku memandangnya dengan ekspresi bertanya?
"Kakimu lucu Yie, telunjuknya lebih panjang dari jempolnya." katanya sambil terus tertawa.
spontan aku langsung melihat ke kakiku. . . .  iiihhhh dasar usil.

Sampai di Bandung, aku di bawa ke daerah perbengkelan. Hasian memarkir mobilnya di salah satu bengkel mobil tersebut.
"Haaahhhhh, ke bengkel ?!?!?    iiiihhhhhhh sebel banget . . . . . ngajak perempuan itu ke mall atuh, bukan ke bengkel." kataku kesal.  Hasian hanya tersenyum melihatku.
"Tunggu bentar ya, aku ganti oli dulu." katanya tenang
"Dasar !!!!!!" kataku sambil melotot.

Setelah beres dengan urusan bengkel, Hasian masuk ke mobil, dengan polos tanpa dosa, dia berkata.
"sekarang kita kemana Yie?"
"pulang!" kataku
Dengan senyum dia bawa mobilnya ke arah  jalan pulang. tapi ditengah jalan, dia belokkan mobilnya ke toko roti.  "makan dulu yu." katanya.  Tanpa menunggu persetujuanku, dia keluar, dan mengajakku untuk turun.  Sambil makan dia berkata:
"Yie, satu kali aku mau bawa kamu ke kampungku di Siborongborong, aku mau ajak kamu keliling kampungku naik kerbau." katanya polos.
Dengan spontan aku tertawa ngakak. 
"Abang sayang, jangan bawa aku naik kerbau, aku takut jatuh bang. Lebih baik abang gendong aku keliling kampung aja ya." kataku sambil tertawa.   
"Yie, aku suka sama kamu." katanya serius
Spontan tawaku terhenti  menatap matanya mencari keseriusan ucapannya.
"Aku ga mau sama kamu." kataku
"Kenapa?" tanyanya menyelidik
"Aku takut sama orang Batak, suaranya keras-keras bilang sayang atau marah, ga ada bedanya." kataku
Hasian hanya tertawa mendengar alasanku.
"Bang, berteman lebih asik daripada pacaran. kita bisa bebas mengeluarkan isi hati kita walaupun kita hanya berteman.  Friend for Ever, ok." kataku
OK!!!!!!!!



NB:
Aku tulis cerita ini untuk mengenang ketulusan hati temanku.  Trimakasih atas persahabatan yang indah yang sudah terjalin dengan baik selama kita kuliah.   Trimakasih sudah membuka lebar mataku tentang adat dan kebudayaan kamu, berkat persahabatan ini, aku tidak akan melarang anak-anakku untuk bergaul dengan orang Batak.  Maafkan aku sudah membatasi diri selama ini.  Kalau kamu bukan orang Batak, mungkin ceritanya lain.  Sebenarnya aku juga menyukai kamu, bahkan telah tumbuh benih-benih cinta. . . . .  terimakasih atas kenangan indahnya, kamu selalu ada dihatiku.  
 
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar